Dulu Gajah Adalah Sahabat Sultan, Kini Jadi Buruan
Sebelum
Kesultanan Aceh berdiri, kerajaan-kerajaan di utara Pulau Sumatra telah
menjadikan gajah sebagai bagian tak terpisahkan dari kerajaan.
Menurut
M. Junus Djamil, seorang raja di Pidie memilih gajah sebagai tunganggannya.
"Dalam tahun 500 masehi didapati kerajaan yang bernama Poli, yaitu Pidie
sekarang, rakyatnya beragama Buddha, rajanya mengendarai gajah," tulis
Djamil dalam Gadjah Putih Iskandar Muda.
Sultan
Peureulak pada 1146 juga gemar mengendarai gajah berhias emas, sebagaimana dikutip
Djamil dari Kitab Rihlah Abu Ishak al-Makarany. Sementara Marcopolo menyebut
Samudra Pasai sebagai kerajaan yang mempunyai banyak gajah, dan sebagian besar
kepunyaan raja.
Dalam
Rihlah Ibnu Batutah, Ibnu Batutah memberikan deskripsi lebih lengkap mengenai
gajah Samudra Pasai pada 1345. Selain dimiliki Raja, gajah-gajah itu juga
menjadi bagian armada perang kerajaan. Jumlahnya 300 gajah. Meski untuk
berperang, gajah-gajah itu tetap dihias.
Menurutnya,
kekuatan dan kemegahan armada Gajah Samudra Pasai hanya bisa disaingi oleh
Kerajaan Delhi (India).
Ketika
Kesultanan Aceh berdiri pada paruh pertama abad ke-16, gajah tetap menjadi
hewan andalan, selain kuda. Sultan-sultan Aceh masa itu tersohor sebagai
penunggang gajah yang mahir.
Kecakapan menunggang gajah dianggap salah satu
simbol keagungan sultan. Gajah-gajah pun dirawat dengan baik.
Gajah-gajah
liar di pedalaman diburu bukan untuk diambil gadingnya, melainkan untuk
dijinakkan. Setelah jinak, gajah yang dipandang terbaik dan terbesar akan
dijadikan gajah sultan.
Sisanya untuk armada perang Aceh. Gajah-gajah perang
itu dihias seindah mungkin dengan emas dan permata. Suatu pemandangan yang
dapat ditemukan di India.
Kebanggaan
Kesultanan Aceh terhadap gajah berlanjut hingga abad ke-17. Iskandar Muda,
calon sultan, akrab dengan gajah sejak kecil. Indra Jaya, seekor anak gajah,
menjadi teman bermain Iskandar Muda kecil. Kakeknya, Sultan Alau’ddin Riayat
Syah, memberikan gajah itu saat Iskandar berumur 5 tahun. Iskandar senang
menerimanya.
Dia
menghabiskan sebagian besar waktu bermainnya dengan anak gajah itu. Menginjak
usia 7 tahun, dia mulai berburu gajah liar yang berada dalam hutan. Saat
beranjak dewasa, Iskandar Muda telah mahir menunggangi gajah. Mengutip Hikayat
Aceh, Anthony Reid dalam "Elephants and Water in The Feasting of
Seventeenth Century Aceh," dimuat dalam An Indonesian Frontier,menyebut
sultan muda itu berlatih menunggang gajah tiap Senin dan Kamis. Sultan muda itu
meneruskan tradisi kemahiran sultan Aceh dalam menunggangi gajah.
Tamu-tamu
asing Kesultanan Aceh terpukau dengan gajah-gajah di sana. Sebaliknya, Aceh
membanggakan gajah-gajahnya pada tamu-tamu asing. Untuk menyambut tamu asing,
gajah dipersiapkan sebaik mungkin, baik perangai, kesehatan maupun
perhiasannya. John Davies, navigator Inggris, mengungkapkan pengalamannya
mengunjungi istana sultan pada 1599. "Saya berkendara ke istananya dengan
seekor gajah," tulis Davies dalam "Kunjungan Pertama Belanda Berakhir
Buruk, 1599," dimuat dalam Sumatera Tempo Doeloe.
Dia
juga menyebut gajah dapat digunakan sebagai alat eksekusi hukuman mati. Gajah
bisa merobek badan orang hingga pecah berkeping-keping. Catatan Francois
Martin, pedagang Prancis, pada 1602 menguatkan cerita Davies. Hukuman mati
dengan gajah dikenakan pada pezina dan pembunuh.
Meski
gajah sempat menjadi alat eksekusi, fungsi utama gajah sebagai simbol kebesaran
kesultanan Aceh tak terbantahkan. Augustin de Beaulieu, pedagang Prancis,
menyaksikan bagaimana Aceh merupakan panggung teater besar para gajah pada 1621.
Dalam
catatannya, "Kekejaman Iskandar Muda", dimuat dalamSumatera Tempo
Doeloe, dia menyebut Aceh memiliki 900 ekor gajah. Karena melimpahnya armada
gajah, Aceh tak memerlukan benteng kota. "Gajah-gajah tempurnyalah yang merupakan benteng kota sesungguhnya," tulis Denys Lombard dalam Kerajaan
Aceh.
Gajah-gajah
itu dilatih berperang sehingga tak takut ketika suara senapan yang memekakkan
berbunyi disamping telinga besarnya.
Sultan
memberikan gajah-gajah itu nama sedangkan rakyat memberi penghormatan kepada
gajah-gajah yang sultan gunakan. Ketika parade, gajah-gajah itu diiringi
bunyi-bunyian yang membahana dari alat-alat musik seperti terompet, tamborin,
dan simbal.
Catatan
lain mengenai gajah Aceh berasal dari Peter Mundy, pelancong Inggris. Meski hanya
mengunjungi Aceh selama 10 hari, dia melihat upacara besar yang menyertakan
banyak gajah pada 1637. Dia mendeskripsikan dengan sangat jelas upacara yang
digelar saat perayaan Idul Adha.
Upacara
itu dihadiri khalayak termasuk orang asing. Sultan mengundang semua rakyat
hadir, dari jelata hingga bangsawan.
Dalam
upacara itu, 30 gajah berhias terbagi dalam beberapa baris. Ada empat gajah
tiap barisnya. Sebagian gajah ditutupi kain sutra sehingga hanya terlihat kaki,
telinga, mata, dan belalai mereka. Gajah raja terlihat mencolok.
Dengan hiasan kain mewah yang menutupi hampir
seluruh tubuh dan menara setinggi satu meter di punggungnya, gajah itu berada
paling belakang. Menurut Takeshi Ito dalam The World of The Adat Aceh, tesis
pada Australian National University, "dalam masa damai, gajah menjadi
bagian integral dalam prosesi itu sebagaimana tertuang dalam kitab Adat
Aceh."
Ito
menambahkan Aceh tak hanya mengoleksi gajah tapi juga mengeskpor atau
membarternya dengan sejumlah kuda atau hewan lain ke beberapa wilayah seperti
Srilanka.
Pada masa Sultanah Safiatuddin (1641-1675), kepemilikan gajah tak
terbatas lagi pada sultan. Orangkaya boleh memilikinya.
Seiring
meredupnya Kesultanan Aceh, gajah tak lagi menempati posisi penting dalam
upacara keagamaan atau armada perang. Memasuki abad ke-20, nasibnya semakin
naas; hanya menjadi barang buruan dan dagangan. Bahkan menjadi musuh warga.
Diangkat dari berbagai sumber
Tidak ada komentar: